Inspirasi Update News – Seorang pemuda asal Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, bernama Yusuf Saputra (20), mengaku menjadi korban penganiayaan dan pemerasan oleh sejumlah oknum yang diduga kuat merupakan anggota kepolisian dari Satuan Sabhara Polrestabes Makassar. Pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh Yusuf dalam sebuah video pengakuan yang saat ini tengah viral di berbagai platform media sosial.
Dalam video berdurasi sekitar tiga menit itu, Yusuf, mengungkapkan, kronologi kejadian yang terjadi pada Selasa malam, 27 Mei 2025 sekitar pukul 22.00 WITA, saat ia tengah nongkrong di area Lapangan Galesong yang sedang ramai karena berlangsungnya pasar malam.
Menurut pengakuan Yusuf, tiba-tiba enam orang berpakaian preman datang dan langsung mencekiknya dari belakang. Salah satu dari mereka menodongkan senjata laras panjang ke arahnya.
“Kemudian dirinya dibawa ke tempat sepi dan gelap, lalu mengalami pemukulan, penganiayaan, serta dipaksa melepas pakaian, hingga hanya tersisa celana dalam,” cetusnya.
Dia menambahkan, tidak lama kemudian, ketika warga sekitar mulai berdatangan, para oknum tersebut memindahkan saya (Yusuf) ke tempat lain.
“Yang kemudian disuruh naik ke dalam sebuah mobil berknalpot bising, merek Jazz, yang di dalamnya terdapat empat orang lain yang diduga juga merupakan petugas dari Polrestabes Makassar,” tambahnya.
Yang lebih mencengangkan, Yusuf mengaku diminta uang tebusan sebesar Rp15 juta, namun setelah bernegosiasi jumlah tersebut turun menjadi Rp5 juta.
“Karena keterbatasan ekonomi, akhirnya keluarga saya (Yusuf), hanya sanggup memberikan Rp1 juta. Setelah uang itu diterima, saya dibebaskan,” tutup Yusuf.
Menanggapi kejadian itu, Yurdinawan, Mahasiswa Hukum Universitas Handayani Makassar, mendesak Mabes Polri dan Polda Sulsel untuk segera menurunkan tim investigasi dan mencopot Kapolrestabes Makassar serta Kasat Sabhara, yang dinilai gagal membina anggotanya.
“Ini adalah bentuk nyata dari kegagalan institusi kepolisian dalam menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan internal. Dugaan pemerasan dan penyiksaan terhadap warga sipil jelas mencoreng nama baik Polri secara keseluruhan,” ungkap Yurdinawan, dalam konferensi pers. Minggu, 1 Juni 2025.
Yurdinawan, menambahkan, bahwa dalam insiden tersebut, Yusuf dipaksa mengakui memiliki narkotika jenis tembakau gorilla. Namun Yusuf menolak dan bersikeras tidak mengenal barang haram tersebut.
“Jadi pemaksaan pengakuan dan ancaman fisik adalah bentuk nyata dari kesewenang – wenangan hukum yang tidak boleh dibiarkan,” tambahnya.
Tindakan yang diduga dilakukan oleh oknum anggota kepolisian dalam kasus ini berpotensi melanggar sejumlah ketentuan hukum pidana dan kode etik profesi kepolisian, antara lain:
1. Pasal 351 KUHP – Penganiayaan
“Penganiayaan dihukum dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan…”
Jika terbukti melakukan dugaan kekerasan fisik terhadap Yusuf, para pelaku dapat dijerat dengan pasal penganiayaan.
2. Pasal 368 KUHP – Pemerasan
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman untuk memberikan suatu barang…”
Permintaan uang dengan ancaman kekerasan atau penahanan termasuk dalam ranah pemerasan, yang dapat dipidana maksimal 9 tahun penjara.
3. Pasal 421 KUHP – Penyalahgunaan Wewenang
“Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”
Jika benar pelaku adalah anggota polisi, maka terdapat indikasi penyalahgunaan jabatan untuk tujuan pemaksaan.
4. Pasal 13 dan 14 Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri
Anggota Polri wajib menjunjung tinggi martabat, kehormatan, dan kepercayaan masyarakat. Pelanggaran etika berat seperti ini dapat dikenakan sanksi berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
Mahasiswa Hukum Universitas Handayani Makassar, Yurdinawan, menegaskan, bahwa proses hukum tidak boleh hanya berhenti pada permintaan maaf atau mediasi, melainkan harus diselesaikan melalui proses pidana dan etik yang transparan, akuntabel, dan diawasi publik.
“Kami mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk menunjukkan bahwa Polri bersih dari oknum mafia hukum. Tindak tegas, pecat dan penjarakan mereka yang terlibat,” tutup Mahasiswa Hukum Universitas Handayani Makassar itu.
Sementara itu, Kapolrestabes Makassar, Kombes Pol Arya Perdana, S.H.,S.I.K.,M.Si, saat dikonfirmasi membenarkan bahwa pihaknya telah mengamankan oknum terduga pelaku. Yang bersangkutan sudah kita amankan dan diperiksa dua hari lalu.
“Ada dugaan pelanggaran kode etik dan disiplin. Saat ini sudah kita tempatkan di patsus (sel khusus) sambil menunggu proses sidang etik dan disiplin,” ujar Kombes Pol Arya Perdana.
Polrestabes Makassar tidak akan memberikan toleransi terhadap pelanggaran yang merugikan masyarakat dan mencoreng institusi Polri.
“Kami tegaskan, tidak ada ruang bagi oknum yang menyalahgunakan kewenangannya. Tindakan tegas akan kami ambil,” tandasnya.
#Geb.**#